A. Latar
Belakang
Istilah sampah pasti sudah tidak asing lagi
ditelinga kita. Sampah diartikan sebagai material sisa yang tidak diinginkan
setelah berakhirnya suatu proses. Jika mendengar istilah sampah, pasti yang
terlintas adalah setumpuk limbah yang beraroma busuk yang sangat menyengat.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan taraf kehidupan
penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan
pertumbuhan kegiatan produksi dan konsumsi. Pertambahan penduduk dan
peningkatan aktivitas yang semakin pesat telah mengakibatkan meningkatnya
produksi sampah.
Pembuangan sampah yang tidak diurus dengan baik, akan
mengakibatkan masalah besar. Penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke
kawasan terbuka akan mencemari tanah yang juga berdampak ke saluran air tanah.
Demikian juga pembakaran sampah dapat mengakibatkan pencemaran udara,
pembuangan sampah ke sungai jugaakan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya
saluran air, dan banjir.
Permasalahan sampah di Indonesia antara lain semakin banyaknya
limbah sampah yang dihasilkan masyarakat, kurangnya tempat sebagai pembuangan
sampah, sampah sebagai tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus,
menjadi sumber polusi dan pencemaran tanah, air, dan udara, menjadi sumber dan
tempat hidup kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.
Banyaknya
sampah yang dapat diangkut ke TPA bukan suatu jaminan kota akan menjadi semakin
bersih, karena di TPA terkadang sampah masih juga menggunung dan menjadi sumber
penyakit.Jika
diasumsikan produksi sampah mencapai 0,5 kg-0,8 kg per orang dalam satu hari,
maka jumlah sampah yang terkumpul setiap harinya sangat besar. Dari total
sampah yang diproduksi itu, yang berhasil dibuang di tempat pembuangan akhir
(TPA) hanya 60%-70%.
Pencemaran
paling utama di Indonesia antara lain dari limbah domestik terutama yang
berasal dari rumah tangga, apalagi dalam beberapa dekade terakhir ada
kecenderungan pemakaian karakter barang konsumsi yang tidak akrab lingkungan
seperti plastik dan barang lainnya.
Pembuangan sampah
yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih
bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi bahan-bahan
yang mungkin masih bisa di daur ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan
dari keduanya.
Padahal, sampah tersebut sebenarnya adalah emas bagi yang mau
memanfaatkannya. Baik sampah organik
maupun anorganik, semua dapat diolah dan menghasilkan rupiah. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos ataupun
biogas. Sampah anorganik dapat diolah menjadi kerajinan tangan, vas, pot bunga,
bingkai foto,tas, dompet, hiasan rumah, dan bermacam-macam produk yang lain.
Pengelolaan sampah
saat ini tidak bisa lagi dengan pola lama, kumpul, angkut, buang.
Pengelolaan sampah dengan cara baru sudah menjadi tuntutan. Hal itu dikaitkan
dengan tren produksi sampah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bersamaan
pertambahan jumlah penduduk dan pola konsumsi. Sampah harus dikelola dengan
prinsip empat R, yaitu:
·
Reduce (Mengurangi): sebisa mungkin lakukan minimalisasi
barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan
material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Reuse (Memakai kembali): pilihlah
barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang
disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian
barang sebelum ia menjadi sampah.
·
Recycle (Mendaur ulang): barang-barang yang tidak berguna
lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini
sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan
sampah menjadi barang lain.
·
Replace (Mengganti): teliti barang yang kita pakai
sehari-hari. Gantilah barang-barang yang hanya sekali pakai dengan barang yang
lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang
lebih ramah lingkungan. Misalnya ganti kantong kresek dengan keranjang belanja,
dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa diuraikan
secara alami.
UU No. 18 tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah, menyebutkan bahwa perlu memandang sampah sebagai sumber
daya yang memiliki nilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk
energi, kompos, pupuk, ataupun bahan baku industri, pengelolaan sampah
dilakukan dengan kegiatan pengurangan sampah dan penanganan sampah yang baik.
Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah kongkret agar sampah
menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Salah satunya adalah denganhadirnya “Bank Sampah”, menyetor sampah tapi mendapat
uang.Karya tulis ini akan membahas mengenai cara kerja Bank Sampah sehingga
dapat merubah sampah menjadi rupiah, serta peran “Bank Sampah” dalam mengurangi
jumlah sampah baik organik maupun anorganik. Selain itu akan dipaparkan pula
mengenai manfaat sosial dan lingkungan dari “Bank Sampah”.
B. Tujuan
1.
Mengetahui cara kerja Bank
Sampah yang berperan sebagai agen pengelola sampah.
2.
Mengetahui apa saja keuntungan
yang didapat nasabah Bank Sampah dan bagi masyarakat yang berada di sekeliling Bank
Sampah.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah
penulis
buat, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Penumpukan sampah yang terjadi
di daerah perkotaan
2.
Tempat pembuangan sampah (TPS) yang mengancam kesehatan lingkungan
sekitar
3.
Kesadaran masyarakat untuk buang sampah pada tempatnya masih kurang
Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap kebersihan lingkungan
D. Manfaat
Manfaat dari penulisan karya ini adalah untuk menggalakkan “Bank
Sampah” yang merupakan inovasi pertama di dunia sebagai salahsatu upaya untuk
mengurangi jumlah sampah di lingkungan sekitar. Selain itu untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat keuntungan yang diperoleh masyarakat dari Bank
Sampah sehingga diharapkan “Bank Sampah” nantinya akan menjamur di masyarakat dan
menjadi budaya menghargai sampah.
"Sampah adalah suatu bahan yang
terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam
yang belum memiliki nilai ekonomis." (Istilah Lingkungan untuk Manajeman,
Ecolink, 1996).
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu
yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang
berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra,
2007). Banyak sampah organik masih mungkin digunakan kembali/ pendaurulangan
(re-using), walaupun akhirnya akan tetap merupakan bahan/ material yang tidak
dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).
Sampah dalam ilmu kesehatan
lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang
tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian
rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup. Dari segi ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sampah ialah sebagian dari sesuatu yang
tidak dipakai, disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal
dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi
yang bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan
umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk didalamnya).
Pertumbuhan ini juga membawa pada
penggunaan sumber semula jadi yang lebih besar dan pengeksploitasian lingkungan
untuk keperluan industri, bisnis dan aktivitas sosial. Di
bandar-bandar negara dunia ketiga, pengurusan sampah sering mengalami masalah.
Pembuangan sampah yang tidak diurus dengan baik, akan mengakibatkan
masalah besar. Karena penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan
terbuka akan mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran
air tanah. Demikian juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara,
pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya
saluran air dan banjir (Sicular 1989). Selain
itu, Eksploitasi lingkungan adalah menjadi isu yang berkaitan dengan pengurusan
terutama sekitar kota. Masalah sampah sudah saatnya dilihat dari konteks
nasional. Kesukaran untuk mencari lokasi landfill sampah, perhatian terhadap
lingkungan, dan kesehatan telah menjadi isu utama pengurusan negara dan sudah
saatnya dilakukan pengurangan jumlah sampah, air sisa, serta peningkatan
kegiatan dalam menangani sampah..
Oleh
sebab itu, banyak negara besar melakukan incineration atau pembakaran,
yang menjadi alternatif dalam pembuangan sampah. Sementara itu, permasalahan
yang dihadapi untuk proses ini adalah biaya pembakaran lebih mahal dibandingkan
dengan sistem pembuangan akhir (sanitary landfill). Apabila sampah ini
digunakan untuk pertanian dalam jumlah yang besar, maka akan menimbulkan
masalah karena mengandung logam berat (Ross 1994).
Sampah boleh dikategorikan kepada dua, yaitu sampah domestik dan sampah bukan
domestik (Ridwan Lubis 1994). Sampah domestik adalah bahan-bahan buangan yang
dibuang dari rumah atau dapur. Contohnya ialah pakaian lama atau buruk, botol,
kaca, kertas, beg plastik, tin aluminium dan juga sisa makanan. Sampah bukan
domestik pula ialah bahan-bahan buangan yang dihasilkan dari industri,
perusahaan, pasar, dan pejabat. Bahan-bahan buangan ini terdiri daripada
berbagai jenis termasuk sisa jualan, sisa pembungkusan dan sisa daripada proses
pengilangan.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu
dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan
alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan
masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani
semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah
yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat
mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada
tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga
prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan
jumlah sampah yang terus meningkat, minimalisasi sampah harus dijadikan
prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat
dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem
pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan
industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan
proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan
alur sampah.
Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang
berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang
untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem
daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi
setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya.
Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu
saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara
maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya.
Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen
penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan
kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di
negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang
telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang
mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan
40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem
untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari
suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan
kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak
untuk mengembalikan nutrisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa
bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga
merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang
sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan
kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai
industri.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah
kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak
terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat
insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggung jawab
Produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) adalah suatu pendekatan
kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan
kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain
ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa
material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu
dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus
pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material
serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR
untuk memaksa industri merancang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting,
dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu
menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang
telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan
lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk
menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan
merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa
diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis
berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh
fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota
pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat
dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan
penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu
mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah,
secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan
insinerator. Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk
obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah
tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa seperti merkuri harus dihilangkan,
dengan cara merubah pembelian bahan-bahan, bahan lainnya dapat didaur-ulang, selebihnya
harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di
berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah
sakit umum besar di Amerika. Sampah hasil proses industri biasanya tidak
terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan
merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Tempat pembuangan
akhir (TPA) bukan satu-satunya solusi dalam penanganan sampah, karena rentan
menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Menurut dia, penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di
Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini menjadi
tantangan bagi pengelola kota.
Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang semakin pesat
telah mengakibatkan meningkatnya produksi sampah. Pencemaran paling utama di
Indonesia antara lain dari limbah domestik terutama yang berasal dari rumah
tangga, apalagi dalam beberapa dekade terakhir ada kecenderungan pemakaian
karakter barang konsumsi yang tidak akrab lingkungan seperti plastik dan barang
lainnya. cara yang paling ideal untuk menangani masalah sampah di perkotaan
dimulai dari rumah tangga, yakni mencari tempat yang tepat dan mengolah sampah
dengan baik.
Masing-masing rumah tangga harus memilah sampah, karena biaya
memilah sampah sangat mahal termasuk dibanding biaya pengolahan sampah itu
sendiri.
TPA bukan solusi utama karena banyak persoalan termasuk keterbatasan
lahan untuk TPA itu sendiri. Masalah lainnya, pengangkutan sampah ke TPA
terkendala karena jumlah kendaraan yang belum memadai ditambah dengan kondisi
peralatan yang usang.
“Terlebih adalah pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah yang ramah lingkungan. Untuk itu pengelolaan sampah harus dimulai
dari lingkungan keluarga,”
Sampah
adalah material sisa dari aktivitas manusia yang tidak memiliki keterpakaian,
karenanya harus dikelola. Ketika sampah tanpa pengelolaan secara baik dan
benar, kerugian akan dirasakan karena timbulnya banjir, meningkatnya pemanasan
iklim, menurunnya kandungan organik kebun dan pertanian, sanitasi lingkungan
makin buruk dan ancaman meningkatnya berbagai penyakit. Dengan dikelola, sampah
akan menjadi berkah, dan sebaliknya, tanpa itu, sampah akan menimbulkan banyak
masalah.
Pada Bank Sampah, masyarakat menabung dalam bentuk sampah yang sudah
dikelompokkan sesuai jenisnya. Mereka juga mendapatkan sejenis nomor rekening
dan buku tabungan. Pada buku tabungan mereka tertera nilai Rupiah dari sampah
yang sudah mereka tabung dan memang bisa ditarik dalam bentuk Rupiah (uang)….
jadi bukan menabung sampah menarik sampah…
Bank Sampah bekerjasama dengan pengepul barang-barang plastik,
kardus dan lain-lain, untuk bisa me-rupiahkan tabungan sampah masyarakat. Juga
dengan pengolah pupuk organik untuk menyalurkan sampah organik yang
ditabungkan.
Sangat unik dan ide yang brilian….
Sebab menyimpan sampah terdengar paradoks. Bagaimana tidak, sampah
adalah sesuatu yang biasanya tidak berguna dan dibuang begitu saja. Hitung
kasar saja di Indonesia dengan 250 Juta penduduk kira-kita setara dengan 50
Juta KK, jika diasumsikan perharinya setiap KK menghasilkan dan membuang sampah
rumah tangga rata-rata 2 Kg saja, maka setiap hari ada 100 Ribu Ton sampah di
Indonesia ini. Seperti kita ketahui permasalahan sampah kadang-kadang
memusingkan pemerintah dalam penanganannya.
Tapi tidak dengan yang dilakukan warga Badegan, Bantul, Yogyakarta.
Mereka mengumpulkan, menyimpan lalu bahkan menabung sampahnya.
Menurut Panut Susanto, ketua pengelola Bank Sampah, sampah yang
terkumpul tiap minggu mencapai 60-70 kg. Untuk sementara jam layanan bank
dimulai pukul 16.00-21.00 tiap hari Senin-Rabu-Jumat. ”Kami baru bisa melayani
pada sore hari karena sebagian besar petugas bank harus bekerja pada pagi
hari,” katanya.
Belum maksimalnya kinerja petugas karena mereka mengelola Bank
Sampah tanpa dibayar. Artinya, mereka harus tetap bekerja untuk membiayai
kehidupan keseharian. ”Apa yang kami kerjakan sifatnya masih sosial. Jadi, kami
memang tidak mengharapkan upah karena kondisi bank belum maksimal,” katanya.
Bank Sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor
nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti
fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. ”Selama ini tidak ada
nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan karena bank ini memang
dikelola bersama-sama,” katanya.
Jika Gerakan ini di ikuti di tempat lainnya, tentu permasalahan
sampah yang memusingkan sedikit banyak ada alternatif penyelesaiannya. Yang
utama, lingkungan terselamatkan dari sampah.
(Bank sampah cawang hijau indah )
Sampah
adalah zat kimia, energi atau makhluk hidup yang tidak mempunyai nilai guna dan
cenderung merusak. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses
alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak
(wikipedia).
Ada
salah satu metode yang saya kira cukup memadai dan mudah di lakukan, asal ada
kemauan dari masing-masing individu, karena metode ini melibatkan masyarakat
lingungan sekitar, kemandirian dalam pengolahan sampah organik dalam lingkungan
RT/RW sangat mungkin keberhasilannya, namun dengan beberapa sayarat;
Katakanlah
sampah organik yang dihasilkan oleh sebuah rumah tangga atau 1 Kepala Keluarga
(KK) yang beranggota 5 orang (bapak, ibu, 2 anak dan 1 pembantu) setiap hari
kurang lebih 2 kg. Kalau sebuah Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 40 KK dan
sebuah Rukun Warga (RW) terdiri dari 10 RT, maka bisa dihitung berapa jumlah
sampah organik yang memerlukan pengelolaan selanjutnya, atau biasa disebut
“dibuang”.
Untuk
mengubah pola pikir bahwa sampah tanggung jawab kita yang menghasilkan, dan
mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya yang
tidak mudah dan memerlukan waktu.
Sampah
organik rumah tangga yang segar dan lunak, sangat mudah dikomposkan.
Pengomposan dapat dilakukan secara individual di setiap rumah atau secara
komunal oleh Komite Lingkungan RT/RW.
Metode Pertama; Pengomposan Individual
Pengomposan
dengan metode Takakura. Jika dilakukan dengan benar dalam proses tidak ada bau
busuk dan higienis. Tidak memerlukan tempat luas, tetapi tidak boleh kena hujan
atau sinar matahari langsung.
Sampah
organik dipisahkan dari sampah anorganik (kegiatan ini disebut “memilah
sampah”) kemudian dicacah menjadi berukuran 2 cm x 2 cm agar mudah dicerna
mikroba kompos. Wadahnya boleh keranjang cucian isi 40 L atau lebih dikenal
dengan Keranjang Takakura, ember bekas cat atau kaporit (isi 25 L), drum bekas
yang dipotong menjadi 2 bagian (isi 100 L), keranjang rotan atau bambu yang
isinya lebih dari 25 L untuk mempertahankan suhu kompos. Pemilihan wadah
tergantung bahan yang tersedia, selera dan banyaknya sampah setiap hari.
Sampah
harus dimasukkan wadah kompos setiap hari (sebelum menjadi busuk) dan diaduk sampai
ke dasar wadah supaya tidak becek di bagian bawah. Pengadukan juga dimaksud
untuk memasukkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan mikroba kompos. Jika
wadah sudah penuh, kompos baru bisa dipanen jika sudah matang.
Pengomposan
dimulai lagi dengan wadah lain, dengan aktivator sebagian kompos yang masih
panas dari wadah pertama. Kompos setengah jadi ini bisa juga dikirim ke
pengomposan komunal untuk diproses bersama-sama. Sebagian ditinggal dalam wadah
untuk dijadikan aktivator. Warga akan mendapat hasil panen kompos, atau
membelinya dengan harga khusus.
Metode kedua; Pengomposan Komunal
Memerlukan
bangunan tanpa dinding, atapnya bisa dari plastik terpal, daun kirai, plastik
gelombang, genteng dan sebagainya tergantung dana yang tersedia. Lantainya bisa
tanah, semen atau paving blok. Kita bisa menyebutnya sebagai “Rumah Kompos”.
Untuk
wadah pengomposan sampah organik rumah tangga dapat dibuat bak atau kotak dari
bambu, kayu, paving blok, bata dan sebagainya. Agar dapat menyimpan panas,
kotak harus memiliki volume paling sedikit 500 L atau memiliki panjang 75 cm,
lebar 75 cm dan tinggi 1 m. Salah satu sisinya harus bisa dibuka, untuk
mengeluarkan adonan kompos jika seminggu sekali dibalik. Banyaknya kotak
tergantung jumlah sampah yang akan dikelola.
Hal
penting agar tempat pengomposan bersih dan tidak berbau busuk, sampah yang
masuk hanya sampah orgaik saja. Warga harus memilah sampahnya di rumah
masing-masing. Di depan rumah tidak perlu ada bak sampah, tetapi disediakan dua
wadah sampah untuk sampah organik dan anorganik. Petugas pengangkut sampah
mengambilnya dengan gerobak sampah yang diberi sekat. Sampah organiknya
diturunkan di Rumah Kompos.
Selanjutnya
oleh petugas dicacah (manual atau dengan mesin pencacah). Jika menggunakan
mesin pencacah, agar sampah tidak mengeluarkan air dan untuk menambahkan unsur
Karbon, dicampurkan terlebih dahulu serbuk gergaji. Jika pencacahan secara
manual, serbuk gergaji dicampurkan sebelum masuk wadah kompos. Aktivator yang
digunakan adalah adonan kompos yang masih aktif atau belum selesai berproses.
Jika menggunakan mesin pencacah, aktivator ditambahkan sebelum masuk mesin.
Adonan
kompos dari sampah organik rumah tangga jika diaduk setiap hari, akan matang
dalam waktu kurang lebih 10-14 hari, namun harus distabilkan dahulu sampai suhu
menjadi seperti suhu tanah, kira-kira makan waktu 2 minggu baru bisa dipanen.
Jika akan dikemas diayak terlebih dahulu untuk memisahkan bagian yang kasar
atau belum menjadi kompos.
Jika
tanah yang tersedia cukup luas dan sampahnya cukup banyak, pengomposan dapat
dilakukan dengan sistem open windrow yaitu dengan timbunan-timbunan yang
memerlukan pembalikan. Kompos setengah jadi yang dikirim oleh warga dicampurkan
ke adonan kompos yang sudah berusia kurang lebih 1 minggu, dan akan matang bersama-sama.
komposting
merupakan proses pembusukan secara alami dari materi organik, misalnya daun,
sisa makanan dan lain-lain. Pembusukan itu menghasilkan materi yang kaya unsur
hara, antara lain nitrogen, fosfor dan kalium yang disebut kompos atau humus
yang baik untuk pupuk tanaman. Tentunya cari ini akan lebih baik digunakan dari
pada dengan cara pembakaran. Karena selain mengurangi efek pemanasan global
dengan mengurangi volume gas karbondioksida (CO2 ) yang dihasilkan, cara ini
tidak mempunyai efek samping baik bagi masyarakat ataupun lingkungan.
Kompos
yang dibuat melalui proses termofilik aerobik seperti ini, kualitasnya “super”.
Kaya akan unsur yang diperlukan tanaman agar tumbuh subur. Harganya bisa
mencapai lebih dari Rp.1000/kg.
Jika
ingin ditingkatkan lagi harganya, kita bisa membibit dan menjual tanaman bunga,
sayuran dan tanaman obat yang dipupuk dengan kompos buatan sendiri.
Sebagai
modal awal yang meliputi sarana dan prasarana, pelatihan perlu dukungan
Pemerintah melalui proposal yang meyakinkan yang disusun oleh Pengurus RT/RW.
Diharapkan kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ini nantinya dapat
mandiri dari penjualan kompos dan produk-produk turunannya (tanaman hias,
sayuran, tanaman obat).
Lingkungan
menjadi bersih, teduh dan asri, masyarakat terjaga kesehatannya karena
pengelolaan sampah merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar